Sabtu, 16 Juli 2011

Menulis Hasil Observasi dalam bentuk Paragraf Deskriptif


Ringkasan Materi:
Deskripsi berasal dari kata ”describe” dalam bahasa Latin, yang berarti menulis tentang sesuatu atau membeberkan suatu hal. Dalam bahasa Inggris, ”description” yang berasal dari kata kerja ”to describe” berarti melukiskan dengan bahasa.
Deskriptif yang juga disebut lukisan atau pemerian atau perincian adalah karangan atau tulisan yang melukiskan suatu objek tertentu sedemikian rupa sehingga pembaca seakan-akan melihat sendiri objek tersebut.
Langkah-langkah menyusun karangan deskriptif, yaitu:
1.Menentukan topik atau tema karangan
1.      Menentukan tujuan karangan
2.      Melaksanakan pengamatan yang menunjang tujuan karangan
3.      Mengklasifikasikan data hasil pengamatan
4.      Menyusun kerangka karangan
Contoh paragraf deskriptif:
Pertandingan sepakbola antarkedua kesebelasan itu berlangsung dengan seru meskipun hujan telah mengguyur lapangan. Guyuran hujan yang deras itu membentuk genangan-genangan air berwarna kecokelat-cokelatan di lapangan yang tidak rata.
Akan tetapi, para pemain tetap bersemangat dalam bermain. Bahkan, beberapa di antaranya sempat jatuh bangun karena terpeleset.
Kekuatan kedua kesebelasan itu seimbang sehingga masing-masing belum ada yang mencetak gol. Berkali-kali kesebelasan tamu itu menyerang pertahanan kesebelasan tuan rumah, tetapi gawang tuan rumah belum juga bergetar. Karena kondisi lapangan yang sangat becek, wasit menghentikan pertandingan.
                                    (Diambil dari Pelajaran Menulis Bahasa Indonesia SMA, 1992)
Frase adalah kesatuan yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang masing-masing mempertahankan makna dasar katanya, sementara gabungan itu menghasilkan suatu relasi tertentu, dan tiap kata pembentuknya tidak berfungsi sebagai subjek dan predikat dalam konstruksi itu.
Setiap frase memiliki satu unsur yang disebut inti atau pusat, sedangkan unsur yang lain menjadi penjelas atau pembatas (periferi).
Contoh: rumah ayah, nasi padang, dan anak pintar.
Kata-kata rumah, nasi, dan anak adalah inti atau pusat, sedangkan kata ayah, padang, dan pintar adalah unsur penjelas atau pembatas. 
Frase ajektif adalah frase yang inti konstruksinya berupa kata sifat.
Contoh frase ajektif: besar sekali, amat tinggi, tinggi sekali

Frase ajektif yang terdapat dalam paragraf di atas yaitu: tetap bersemangat dan sangat becek.

KD: Memahami Puisi yang Disampaikan secara Langsung / Tidak Langsung


Ringkasan Materi:                 
Tema puisi bermacam-macam, ada yang mengupas masalah religius atau ketuhanan, heroisme atau kepahlawanan, romantisme atau percintaan, sosial atau kemasyarakatan, termasuk di dalamnya humanisme atau kemanusiaan. Pada umumnya tema puisi dinyatakan penyairnya dengan cara tersirat (Suharianto, 1982).
Puisi-puis karya W.S. Rendra banyak mengupas kehidupan sosial masyarakat, misalnya Balada Terbunuhnya Atmo Karpo, Blouse untuk Bonnie, dan Bersatulah Pelacur-Pelacur Ibu Kota. Puisi-puisi Amir Hamzah banyak menggabarkan romantisme dan religius jiwa sang penyair yang begitu merindukan kekasihnya dan Kekasih Sejati, yakni Tuhan lewat Sebab Dikau, PadaMu Jua, dan Pertemuan. Puisi-puisi Toto Sudarto Bachtiar banyak mengupas sisi kemanusiaan lewat sajak-sajaknya Pengembara II, Jembatan Tua, dan Gadis Peminta-Minta.
Ditinjau dari kata-kata dan makna kata yang digunakan, puisi dibedakan atas: (1) Puisi diaphan (prosais) yaitu puisi yang kata-katanya sangat terbuka, tidak mengandung pelambang atau kiasan; dan (2) Puisi prismatis yaitu puisi yang menggunakan kata-kata sebagai lambang-lambang atau kiasan. Sedangkan ditinjau dari isinya, kita mengenal jenis puisi seperti balada, elegi, roman, ode, himne, dan satire.
Balada adalah sajak sederhana yang mengisahkan cerita rakyat yang mengharukan, kadang-kadang dinyanyikan, kadang-kadang berupa dialog. Berikut adalah contoh puisi jenis Balada.
Tukang Kebun
Betapa sering di sore hari
Kami berjumpa di pojok jalan ini
Menyajikan senyum dia menghormati mesra sekali
Sambil mengetam bunga-bunga; Apa kabar saudara?
            Kemudian kami jarang berjumpa
            Hidupku disibuki zaman yang sukar ini
            Tapi penggantinya tadi menuding ke arah sana
            Bawah cemara kini kuburnya alangkah sunyi
                                                                                    (Mansur Samin)
            Elegi adalah syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian). Puisi roman banyak mengungkapkan sedu sedan penyairnya dan biasanya berisi ungkapan kerinduan pada kekasih. Puisi jenis ode merupakan sajak lirik untuk menyatakan pujian terhadap seseorang, benda, peristiwa yang dimuliakan, dan sebagainya. Himne adalah nyanyian pujian (untuk Tuhan dan sebagainya); sering disebut juga dengan gita puji. Sedangkan puisi satire adalah puisi yang menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang.
Untuk dapat menangkap maksud sebuah puisi, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat parafrasenya, yaitu mengubah puisi tersebut ke dalam bentuk beberan atau paparan. Berikut adalah contoh parafrase dari puisi berjudul  Karangan Bunga karya Taufiq Ismail.
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu

”Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
siang tadi”.
                                                (Tirani, Taufiq Ismail)
Parafrase puisi di atas lebih kurang sebagai berikut:
Pada suatu sore, datanglah tiga orang anak kecil ke Salemba dalam langkah malu-malu. Mereka menyerahkan sebuah karangan bunga yang berpita hitam sebagai tanda ikut berduka cita terhadap kakak mereka (orang yang mereka anggap kakak), yang telah ditembak mati pada siang hari itu.”

KD: Mengidentifikasi Unsur-unsur Bentuk Suatu Puisi yang Disampaikan secara Langsung atau melalui Rekaman


Ringkasan Materi:
Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (KBBI, 1990: 706).
Majas diartikan sebagai cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakan dengan sesuatu yang lain; kiasan.
Rima berarti pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan.
Dalam membuat puisi, sering kali penyair menggunakan kata-kata yang berkonotasi, dalam arti kata-kata yang bukan bermakna sebenarnya atau kiasan belaka.
Sebagai contoh, perhatikan puisi Aku karya Chairil Anwar berikut ini.
AKU
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
                                                (Deru Campur Debu, Chairil Anwar)
Baris puisi /Aku ini binatang jalang/ menunjuk pada pengertian tidak sebenarnya. Kita semua tahu bahwa Chairil Anwar bukanlah binatang jalang. Kalimat tersebut menunjuk pada pengertian yang dimaksudkan oleh Chairil Anwar ialah untuk menyatakan bahwa dirinya mempunyai sikap atau pendirian yang keras, yang lain daripada teman-temannya dalam soal kesusasteraan atau puisi khususnya. 
Kita mengetahui bahwa kelahiran puisi-puisi Chairil Anwar menandai bangkitnya suatu angkatan baru dalam sastra Indonesia yang mempunyai corak yang lain daripada puisi-puisi sebelumnya (Suharianto, 1981). Karena itulah pada baris berikutnya ia menggunakan kiasan lagi /Dari kumpulannya terbuang/
Selanjutnya dikatakan: /Biar peluru menembus kulitku/ /Aku tetap meradang menerjang/ Baris-baris kalimat ini menjelaskan bahwa biar berbagai kritik tajam menyerangnya, ia akan tetap berkarya terus sesuai dengan keyakinannya.
Baris-baris kalimat selanjutnya pun menunjuk pada pengertian yang tidak sebenarnya. Pada baris terakhir: /Aku mau hidup seribu tahun lagi./ mengiaskan keinginan penyair akan keabadian karya-karyanya. Ia mengharapkan agar puisi-puisinya tetap akan bernilai sampai kapan pun.
Selain kata-kata berkonotasi, penyair pun sering menggunakan kata-kata bermakna lambang. Lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Bagi pemakainya, lambang mempunyai makna dan tujuan tertentu. Dengan lambang-lambang atau gambar-gambar tertentu diharapkan pengertian yang ada di balik lambang itu menjadi kongkrit, lebih nyata, dan mudah ditangkap oleh pancaindera. Misalnya keberanian dan kesucian dilambangkan dengan merah putih.
Sebagai contoh, kita perhatikan puisi berjudul Bunglon berikut ini.
BUNGLON
            Untuk ”Pahlawan”ku
Melayah gagah, meluncur rampis,
Menentang tenang alam semadi,
Tiada sedar marabahaya;
’Alam semesta memberi senjata.

Selayang terbang ke rumpun bambu,
Pindah meluncur ke padi masak,
...................................................
                                                            (Gema Tanah Air, S.M. Anshar)
            Bunglon adalah binatang yang dapat mengubah-ubah warna dirinya sesuai dengan lingkungan tempatnya berada. Bunglon pada puisi tersebut digunakan penyair untuk melambangkan sesuatu; yaitu orang yang tidak mempunyai pendirian yang tetap atau pejuang yang demi keselamatan dirinya sering bertukar haluan menyesuaikan diri dengan pihak yang menang atau sedang berkuasa. Dengan kata lain, bunglon pada puisi tersebut digunakan penyair untuk melambangkan orang yang munafik atau plin-plan.

KD: Menceritakan Berbagai Pengalaman Pribadi dengan Pilihan Kata dan Ekspresi yang Tepat


Ringkasan Materi:
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993) pengalaman diartikan: (n) yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung, dan sebagainya). Berbagai pengalaman bisa saja terjadi pada diri setiap orang, baik pengalaman lucu, mengharukan, menyedihkan, menggembirakan, maupun membanggakan.
Pengalaman lucu adalah pengalaman yang menggelikan hati, jenaka, atau mampu menimbulkan tertawa.
Contoh:
Hening Cipta … Sudah
            Menjadi pembina upacara itu memang mengenakkan. Dihormati banyak peserta, diberi hak memberi wejangan, dan bisa marah. Karena itu, saya kerap mengirikan posisi itu. Namun sepanjang hidup, posisi itu tak juga saya dapatkan. Sampai Agustus lalu, ketika atasan saya sakit, saya pun menjadi pembina upacara, posisi yang sangat saya inginkan itu.
            Tapi, tahukah Anda? Bukan bahagia yang saya dapat, melainkan rasa malu.
            Sebenarnya, semuanya berjalan lancar. Dari awal, saya santai dan tenang. Dengan suara yang saya berat-beratkan untuk menambah wibawa dan muka yang saya tekuk serius, saya berkata, ”Untuk mengenang jasa para pahlawan yang rela berkorban demi kemerdekaan yang sedang kita nikmati kini, marilah kita mengheningkan cipta sejenak dan mendoakan mereka. Hening cipta …, mulai!
            Suasana langsung hening. Lagu himne pun berkumandang, pelan, syahdu, menyentuh. Saya pun terbawa suasana, hanyut. Sampai lagu akan berakhir, saya masih menikmati momen itu. Dan lagu pun akan berakhir. Tapi, duhh… Masya Allah, saya tidak tahu bagaimana mengakhiri hening cipta itu. Sibuk memori saya mencari-cari, tetapi tak juga menemukan kalimat yang pas Apakah hening cipta tamat, usai, selesai, atau apa? Duhh… Gusti.
            Saya menangkap keresahan peserta upacara. Saya pun gugup. Keringat mulai menetes. Tengkuk dan ketiak saya pun basah. Gerah sekali. Tanpa sadar, saya menengadahkan kepala. Tapi, ternyata banyak peserta upacara yang sudah menengadahkan kepala dan menatap saya. Refleks, saya menunduk. Dengan suara gemetar, saya katakana, ”Hening cipta… sudah!”
            Dan, inilah yang tak saya bayangkan. Suasana khusyuk, khidmat, tenang, dan penuh rasa terima kasih pada pahlawan langsung cair.
Gerrr…. Semua peserta tertawa. Saya sendiri berpura-pura tidak tahu kesalahan saya.
            Sesi upacara selanjutnya berjalan lancar, tetapi saya yang sudah kehilangan kepercayaan diri hanya memberi wejangan singkat tentang disiplin. Begitu upacara selesai, saya bertanya kepada pemimpin upacara. ”Apa sih kalimat untuk mengakhiri hening cipta tadi?” Spontan dia tertawa. Jangan sudah, Pak. Tapi, hening cipta… selesai. Ha-ha….”
            Saya hanya mengusap peluh yang masih menetes di kening saya. Huh, ternyata tak nikmat menjadi Pembina upacara, ya?
                                    (Drs. Slamet Edi Santosa, Cempaka dalam Sri Rahardjo: 17)

Pengalaman mengharukan adalah pengalaman yang mampu menimbulkan rawan hati atau merawankan hati karena mendengar / melihat sesuatu.
Pengalaman menyedihkan adalah pengalaman yang menimbulkan rasa sedih atau (pilu) dalam hati atau menyusahkan hati.
Pengalaman menggembirakan adalah pengalaman yang menjadikan seseorang gembira atau membangkitkan rasa gembira.
Pengalaman membanggakan adalah pengalaman yang menimbulkan rasa bangga atau menjadikan besar hati.     

KD: Memperkenalkan Diri dan Orang Lain dalam Forum Resmi


Ringkasan Materi

Kalimat untuk Memperkenalkan Diri
Dalam forum diskusi dan seminar atau forum resmi yang lain, moderator atau
pemimpin diskusi sering memperkenalkan pembicara, narasumber, atau penceramah yang diundang. Memperkenalkan pembicara tersebut biasanya dengan menyebutkan identitas yang meliputi nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, profesi, keluarga, dan juga prestasi yang telah diraih.
Perhatikan contoh berikut:
            Saudara-saudara peserta diskusi yang saya hormati, sebelum diskusi ini kita mulai, akan saya perkenalkan pembicara yang sudah hadir di tengah-tengah kita. Beliau adalah Drs. Haryo Goeritno, M.Si. seorang psikolog yang sudah dikenal oleh masyarakat luas. Beliau lahir di Semarang pada tanggal 4 Juli 1958. Saat ini beliau tinggal di Jalan Sidoharjo Gang 1/39 Salatiga. Beliau hanya tinggal bersama dua anaknya. Hobi yang disenanginya adalah berkebun. Beliau sering dipanggil sebagai pembicara dalam berbagai kegiatan seminar tentang pendidikan. Demikian perkenalan singkat tentang beliau. Saudara-saudara kita beri tepuk tangan untuk Bapak Haryo Goeritno.
Kalimat Baku
Untuk memperkenalkan diri atau berbicara di hadapan orang lain, kita harus pandai dalam menyusun kalimat. Karena situasi yang dihadapi merupakan forum resmi, maka kita harus menggunakan kalimat baku, yaitu kalimat yang mengikuti kaidah-kaidah tatabahasa.
Beberapa kesalahan sering dilakukan pada saat seorang moderator memperkenalkan diri atau pembicara, di antaranya:
1.      Para Bapak-bapak dan Ibu-ibu peserta diskusi yang saya hormati, …. (pleonastis)
Bapak-bapak dan Ibu-ibu peserta diskusi yang saya hormati, ….
2.      Saya dikenal dengan nama Satria. (salah pilih kata)
Perkenalkan nama saya Satria.
3.      Untuk mempersingkat waktu, marilah kita mulai diskusi ini. (salah pilih kata)
Untuk memanfaatkan waktu, marilah kita mulai diskusi ini.