Sabtu, 16 Juli 2011

KD: Mengidentifikasi Unsur-unsur Bentuk Suatu Puisi yang Disampaikan secara Langsung atau melalui Rekaman


Ringkasan Materi:
Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (KBBI, 1990: 706).
Majas diartikan sebagai cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakan dengan sesuatu yang lain; kiasan.
Rima berarti pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan.
Dalam membuat puisi, sering kali penyair menggunakan kata-kata yang berkonotasi, dalam arti kata-kata yang bukan bermakna sebenarnya atau kiasan belaka.
Sebagai contoh, perhatikan puisi Aku karya Chairil Anwar berikut ini.
AKU
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
                                                (Deru Campur Debu, Chairil Anwar)
Baris puisi /Aku ini binatang jalang/ menunjuk pada pengertian tidak sebenarnya. Kita semua tahu bahwa Chairil Anwar bukanlah binatang jalang. Kalimat tersebut menunjuk pada pengertian yang dimaksudkan oleh Chairil Anwar ialah untuk menyatakan bahwa dirinya mempunyai sikap atau pendirian yang keras, yang lain daripada teman-temannya dalam soal kesusasteraan atau puisi khususnya. 
Kita mengetahui bahwa kelahiran puisi-puisi Chairil Anwar menandai bangkitnya suatu angkatan baru dalam sastra Indonesia yang mempunyai corak yang lain daripada puisi-puisi sebelumnya (Suharianto, 1981). Karena itulah pada baris berikutnya ia menggunakan kiasan lagi /Dari kumpulannya terbuang/
Selanjutnya dikatakan: /Biar peluru menembus kulitku/ /Aku tetap meradang menerjang/ Baris-baris kalimat ini menjelaskan bahwa biar berbagai kritik tajam menyerangnya, ia akan tetap berkarya terus sesuai dengan keyakinannya.
Baris-baris kalimat selanjutnya pun menunjuk pada pengertian yang tidak sebenarnya. Pada baris terakhir: /Aku mau hidup seribu tahun lagi./ mengiaskan keinginan penyair akan keabadian karya-karyanya. Ia mengharapkan agar puisi-puisinya tetap akan bernilai sampai kapan pun.
Selain kata-kata berkonotasi, penyair pun sering menggunakan kata-kata bermakna lambang. Lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Bagi pemakainya, lambang mempunyai makna dan tujuan tertentu. Dengan lambang-lambang atau gambar-gambar tertentu diharapkan pengertian yang ada di balik lambang itu menjadi kongkrit, lebih nyata, dan mudah ditangkap oleh pancaindera. Misalnya keberanian dan kesucian dilambangkan dengan merah putih.
Sebagai contoh, kita perhatikan puisi berjudul Bunglon berikut ini.
BUNGLON
            Untuk ”Pahlawan”ku
Melayah gagah, meluncur rampis,
Menentang tenang alam semadi,
Tiada sedar marabahaya;
’Alam semesta memberi senjata.

Selayang terbang ke rumpun bambu,
Pindah meluncur ke padi masak,
...................................................
                                                            (Gema Tanah Air, S.M. Anshar)
            Bunglon adalah binatang yang dapat mengubah-ubah warna dirinya sesuai dengan lingkungan tempatnya berada. Bunglon pada puisi tersebut digunakan penyair untuk melambangkan sesuatu; yaitu orang yang tidak mempunyai pendirian yang tetap atau pejuang yang demi keselamatan dirinya sering bertukar haluan menyesuaikan diri dengan pihak yang menang atau sedang berkuasa. Dengan kata lain, bunglon pada puisi tersebut digunakan penyair untuk melambangkan orang yang munafik atau plin-plan.

1 komentar: